Rabu, 15 Oktober 2014


SAHABATMU
Karya Amalia Hasyim
 
Di penghujung hari, aku berdiri di depan jendela kamarku yang sengaja kubuka sembari memandang bintang yang tidak pernah lelah menghias malam. Saat ini pukul 11.35 pm tetapi mataku belum juga terpejam. Terlalu banyak masalah yang sedang memenuhi pikiranku. Ada-saja masalah yang terjadi dalam hidupku ini. Padahal, aku ingin sehari saja hidup tanpa masalah. Namun, aku hanyalah manusia biasa yang memiliki sekedar keinginan. Aku hanya bisa berdoa dan Dialah yang menentukannya.

Di langit, aku melihat sebuah bintang yang cahaya sangat terang. Terangnya lebih daripada bintang yang lainnya. Ingin sekali aku memetik bintang itu dan ku genggam erat dengan tanganku. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi. Menurutku, ada tiga alasan yang membuatnya tidak mungkin. Pertama, bintang itu sangat jauh. Kedua, bintang lebih besar dari tanganku walau dari kejauhan memang terlihat kecil. Ketiga, bintang itu pasti memiliki panas. Oleh sebab itu, lebih baik aku hanya menikmatinya saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Ku lihat jam di dinding kamarku yang terpajang indah di dinding yang ada di depan meja belajarku. Ya, aku sengaja memasang benda itu di dinding depan meja belajar agar aku bisa dengan mudah melihat waktu saat aku belajar. Dengan begitu, aku dapat mengontrol belajarku.
 
Sahabatmu
Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur, aku menutup jendela kamarku terlebih dahulu. Setelah itu, aku merebahkan badanku di atas ranjang. Dan beberapa menit kemudian aku tebuai dalam mimpi.

Beberapa jam kemudian…
Di pagi buta, sekitar jam 03.00am, aku terbangun akibat handphoneku bordering dengan nyaringnya dan mengganggu tidurku. Aku melihat handphoneku, orang yang menelepon itu adalah Ela, sahabatku. Dia tidak mungkin telepon di pagi buta seperti ini kalau bukan ada kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk mengangkat teleponku.
“Fin, ini benar-benar gawat…!” serunya di seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia sedang menghadapi masalah besar.
“kenapa?kenapa?”
“fin…fin…” Dia tak bisa berbicara dengan baik karena nafasnya tersengal-sengal.
“tarik nafas panjang dan hembuskan, tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan.” Aku memberinya saran atau lebih bisa disebut sebagai instruksi.
Aku mendengar dia mengikuti instruksiku. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara dengan pelan-pelan, “laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar